Kamis, 14 April 2011

Hemodialisa, Askep Cangkok Ginjal,&Tumor Jinak

 
1. Hemodialisa
Menurut Price dan Wilson (1995) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006).

A.    Indikasi
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.
Kemudian Thiser dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan Wilcox (1997) juga menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa adalah azotemia simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi.

B.     Kontra Indikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

C.    Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

D.    Proses Hemodialisa
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 1997).
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah dialisat ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler (Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Kemudian menurut Price dan Wilson (1995) komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl- , asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh pasien menjadi bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah ditambahkan ke dalam dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam dialisat yang dapat menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena pembuangan cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson, 1995).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15 jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3–5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2–3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa.
Price dan Wilson (1995) menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien meninggal. Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat. Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama pengobatan berkisar dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa yang digunakan dan keadaan pasien.

Skema proses hemodialisa

(National Kidney Foundation, 2001)



A.    Komplikasi Hemodialisa
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
1)      Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
2)      Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
3)      Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
4)      Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
5)      Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
6)      Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
7)      Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.
Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
9)   Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparinyang tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

B.     Alasan dilakukannya Hemodialisa
Hemodialisa dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan :
a) Kelainan fungsi otak ( ensefalopati uremik )
b)         Perikarditis ( peradangan kantong jantung )
c)  Asidosis ( peningkatan keasaman darah ) yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan lainnya.
d)         Gagal jantung
e) Hiperkalemia ( kadar kalium yang sangat tinggi dalam darah ).

H. Frekuensi Hemodialisa.
Frekuensi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3 kali/minggu. Program dialisa dikatakan berhasil jika :
1 ) Penderita kembali menjalani hidup normal.
2 ) Penderita kembali menjalani diet yang normal.
3 ) Jumlah sel darah merah dapat ditoleransi.
4 ) Tekanan darah normal.
5 ) Tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif ( Medicastore.com, 2006 )
Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal ginjal kronis atau sebagai pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa hari atau beberapa minggu, sampai fungsi ginjal kembali normal.

Transplantasi (cangkok) ginjal adalah proses pencangkokan ginjal ke dalam tubuh seseorang melalui tindakan pembedahan. Ginjal baru bersama ginjal lama yang fungsinya sudah memburuk akan bekerja bersama-sama untuk mengeluarkan sampah metabolisme dari dalam tubuh.

B. Cara Kerja Transplantasi Ginjal
Prosedur bedah transplantasi ginjal biasanya membutuhkan waktu antara 3 sampai 6 jam. Ginjal baru ditempatkan pada rongga perut bagian bawah (dekat daerah panggul) agar terlindung oleh tulang panggul. Pembuluh nadi (arteri) dan pembuluh darah balik (vena) dari ginjal ‘baru’ ini dihubungkan ke arteri dan vena tubuh. Dengan demikian, darah dapat dialirkan ke ginjal sehat ini untuk disaring. Ureter (saluran kemih) dari ginjal baru dihubungkan ke kandung kemih agar urin dapat dialirkan keluar.
Transplantasi ginjal tidak dapat dilakukan untuk semua kasus penyakit ginjal kronik. Individu dengan kondisi, seperti kanker, infeksi serius, atau penyakit kardiovaskular (pembuluh darah jantung) tidak dianjurkan untuk menerima transplantasi ginjal karena kemungkinan terjadinya kegagalan yang cukup tinggi.

C. Pasca Transplantasi Ginjal
Transplantasi Ginjal dinyatakan berhasil jika ginjal tersebut dapat bekerja sebagai ‘penyaring darah’ sebagaimana layaknya ginjal sehat sehingga tidak lagi memerlukan tindakan Dialisis (cuci darah).
Mencegah Reaksi Penolakan (Rejeksi) terhadap Ginjal 'Baru'
Karena ginjal ‘baru’ ini bukan merupakan ginjal yang berasal dari tubuh pasien sendiri, maka ada kemungkinan terjadi reaksi tubuh untuk menolak ‘benda asing’ tersebut.


Untuk mencegah terjadinya reaksi penolakan ini, pasien perlu mengonsumsi obat-obat anti-rejeksi atau imunosupresan segera sesudah menjalani transplantasi ginjal. Obat-obat imunosupresan bekerja dengan jalan menekan sistem imun tubuh sehingga mengurangi risiko terjadinya reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal cangkokan.

D. Efek Samping Imunosupresan
Obat imunosupresan dapat membuat sistem imun (daya tahan tubuh terhadap penyakit) menjadi lemah sehingga mudah terkena infeksi. Efek samping lainnya dari imunosupresan: wajah menjadi bulat, berjerawat, atau tumbuh bulu-bulu halus pada wajah, juga dapat menyebabkan peningkatan berat badan. Beritahu dokter jika Anda mengalami efek-efek samping seperti ini untuk segera ditangani secara tepat.

E. Proses Transplantasi Ginjal

Dokter bedah akan meletakkan ginjal di dalam perut sebelah bawah, kemudian menghubungkan pembuluh darah dan saluran kencing (ureter) ginjal baru tersebut ke pembuluh darah dan ureter penderita. Setelah terhubung, ginjal akan dialiri darah yang akan dibersihkan. Air kencing (urine) biasanya langsung diproduksi. Tetapi beberapa keadaan, urine diproduksi bahkan setelah beberapa minggu. Ginjal lama kita yang dua buah akan dibiarkan di tempatnya. Tetapi jika ginjal tersebut menyebabkan infeksi atau menimbulkan penyakit darah tinggi, maka harus diangkat.

F. Persiapan Transplantasi
Bicarakan dengan dokter anda mengenai transplantasi yang akan dijalani, karena tidak semua orang cocok untuk transplantasi. Beberapa kondisi dapat membuat proses transplantasi berbahaya atau tidak mungkin berhasil.
Ginjal baru dapat diperoleh dari donor yang baru saja meninggal dunia, atau dari donor hidup. Donor hidup bisa keluarga, bisa juga bukan - biasanya pasangan atau teman. Jika anda tidak memiliki donor hidup, anda akan dimasukkan ke dalam daftar tunggu untuk memperoleh ginjal dari donor meninggal. Masa tunggu tersebut dapat berlangsung bertahun-tahun.
Petugas transplantasi akan mempertimbangkan tiga faktor untuk menentukan kesesuaian ginjal dengan penerima (resipien). Faktor tersebut akan menjadi tolak ukur untuk memperkirakan apakah sistim imun tubuh penerima akan menerima atau menolak ginjal baru tersebut.
  1. Golongan darah. Golongan darah penerima (A,B, AB, atau O) harus sesuai dengan golongan darah donor. Faktor golongan darah merupakan faktor penentu kesesuaian yang paling penting.
  2. Human leukocyte antigens (HLAs). Sel tubuh membawa 6 jenis HLAs utama, 3 dari ibu dan 3 dari ayah. Sesama anggota keluarga biasanya mempunyai HLAs yang sesuai. Resipien masih dapat menerima ginjal dari donor walaupun HLAs mereka tidak sepenuhnya sesuai, asal golongan darah mereka cocok, dan tes lain tidak menunjukkan adanya gangguan kesesuaian.
  3. Uji silang antigen. Tes terakhir sebelum dilakukan pencangkokan adalah uji silang organ. Sejumlah kecil darah resipien dicampur dengan sejumlah kecil darah donor. Jika tidak terjadi reaksi, maka hasil uji disebut uji silang negatif, dan transplantasi dapat dilakukan.
Pembedahan untuk cangkok ginjal biasanya memakan waktu 3 sampai 4 jam. Lama rawat di rumah sakit biasanya adalah satu minggu. Setelah keluar dari rumah sakit, resipien masih harus melakukan kunjungan secara teratur untuk memfollow-up hasil pencangkokan. Sedangkan bagi pendonor hidup, waktu yang dibutuhkan hampir sama dengan resipien. Walaupun demikian, karena teknik operasi untuk mengangkat ginjal donor semakin maju, maka waktu rawat menjadi lebih pendek, mungkin 2 sampai 3 hari.

G. Komplikasi
Setelah transplantasi, dokter akan memberikan penderita obat imunosupresan, yang berguna untuk mencegah reaksi penolakan, yaitu reaksi dimana sistem tubuh menyerang ginjal baru yang dicangkokkan. Obat imunosupresan harus diminum setiap hari selama ginjal baru terus berfungsi. Kadang-kadang, reaksi penolakan tetap terjadi walaupun penderita sudah minum obat imunosupresan. Jika hal ini terjadi, penderita harus kembali menjalani dialisis, atau melakukan transplantasi dengan ginjal lain.
Obat imunosupresan akan melemahkan daya tahan tubuh, sehingga dapat mempermudah timbulnya infeksi. Beberapa jenis obat imunosupresan juga dapat merubah penampilan. Wajah akan tampak lebih gemuk, berat badan bertambah, timbul jerawat, atau bulu di wajah. Tetapi tidak semua resipien mengalami gejala tersebut. Selain itu, imunosupresan juga dapat menyebabkan katarak, diabetes, asam lambung berlebihan, tekanan darah tinggi, dan penyakit tulang.

H. Keuntungan dan Kekurangan Transplantasi Ginjal
1. Keuntungan Transplantasi Ginjal
  • Ginjal baru akan bekerja seperti halnya ginjal normal.
  • Penderita akan merasa lebih sehat dan "lebih nomal".
  • Penderita tidak perlu melakukan dialisis
  • Penderita yang mempunyai usia harapan hidup yang lebih besar.
2. Kekurangan Transplantasi Ginjal
  • Butuh proses pembedahan besar.
  • Proses untuk mendapatkan ginjal lebih sulit atau lebih lama.
  • Tubuh menolak ginjal yang dicangkokkan.
  • Penderita harus rutin minum obat imunosupresan, yang mempunyai banyak efek samping.
( Fitri Niagantini/09132 - 2D )

2. ASKEP TRANSPLANTASI GINJAL

Konsep Dasar

1. Pengertian Transplantasi Ginjal

Menurut Brunner and Suddarth

Transplantasi ginjal melibatkan menanamkan ginjal dari donor hidup atau kadaver menusia resipein yang mengalami penyakit ginjal tahap akhir.

Menurut www.goegle.com

transplantasi ginjal dapat dilakukan secara “cadaveric” (dari seseorang yang telah meninggal) atau dari donor yang masih hidup (biasanya anggota keluarga). Ada beberapa keuntungan untuk transplantasi dari donor yang masih hidup, termasuk kecocokan lebih bagus, donor dapat dites secara menyeluruh sebelum transplantasi dan ginjal tersebut cenderung memiliki jangka hidup yang lebih panjang.

2. Etiologi

Penyakit gagal ginjal terminal (stadium terakhir).

3. Beberapa terminologi dalam transplantasi, yaitu

a. Autograft adalah transplantasi dimana jaringan yang dicangkokkan berasal dari individu yang sama.

b. Isograft adlah transplantasi dimana jaringan yang dicangkokkan berasal dari saudara kembar.

c. Allograft adalah transplantasi dimana jaringan yang dicangkokkan berasal dari individu dain dalam spesies yang sama.

d. Xenograft adalah transplantasi dimana jaringan yang dicangkokkan berasal dari spesies yang berbeda. Misalnya ginjal baboon yang ditransplantasikan kepada manusia.

4. Komplikasi

a. Penolakan pencangkokan

Yaitu sebuah serangan dari sistem kekebalan terhadap organ donor asing yang dikenal oleh tubuh sebagai jaringan asing. Reaksi tersebut dirangsang oleh antigen dari kesesuaian organ asing. Ada tiga jenis utama penolakan secara klinik, yaitu hiperakut, akut, dan kronis.

b. Infeksi

Infeksi meninggalkan masalah yang potensial dan mewakili komplikasi yang paling serius memberikan ancaman kehidupan pada periode pencangkokan jaman dulu. Infeksi sistem urine, pneumonia, dan sepsis adalah yang sering dijumpai.

c. Komplikasi sistem urinaria

Salah satunya adalah terputusnya ginjal secara spontan. Komplikasi yang lain adalah bocornya urine dari ureteral bladder anastomosis yang menyebabkan terjadinya urinoma yang dapat memberi tekanan pada ginjal dan ureter yang mengurangi fungsi ginjal.

d. Komplikasi kardiovaskular

Komplikasinya bisa berupa komplikasi lokal atau sistem. Hipertensi dapat terjadi pada 50%-60% penderita dewasa yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya stenosis arteri ginjal, nekrosis tubular akut, penolakan pencangkokkan jenis kronik dan akut, hidronefrosis.

e. Komplikasi pernafasan

Pneumonia yang disebabkan oleh jamur dan bakteri adalah komplikasi pernafasan yang sering terjadi.

f. Komplikasi gastrointestinal

Hepatitis B dan serosis terjadi dan mungkin dihubungkan dengan penggunaan obat-obatan hepatotoksik.

g. Komplikasi kulit

Karsinoma kulit adalah yang paling umum. Penyembuhan luka dapat menjadi lama karena status nutrisi yang kurang, albu,in serum yang sedikit dan terapi steroid.

h. Komplikasi-komplikasi yang lain

Sistem lain juga diakibatkan oleh komplikasi sesudah pencangkokan diabetes militus yang disebabkan oleh steroid, mungkin bisa berkembang. Akibat terhadap muskuluskeletal yang termasuk adalah osteoporosis dan miopaty. Nekrosis tulang aseptik adalah utamanya disebabkan oleh terapi kortikosteroid. Masalah reproduksi yang digambarkan dalam frekuensi CRF muncul setelah transplantasi.

i.   Kematian

Rata-rata kematian setelah 2 tahun pelaksanaan transplantasi tersebut hanya 10%. Hal ini menggambarkan adanya penurunan tingkat kematian yang berarti dalam dua dekade yang lalu, sebelumnya tingkat ketahanan hidup hanya 40-50%. Khususnya rata-rata kematian yang menurun yang diakibatkan oleh infeksi pada dua tahun pertama setelah dua tahun pencangkokkan telah terjadi.

 

5. Keberhasilan transplantasi ginjal menurut harapan klinis

a. Lama hidup ginjal cangkok (Graft Survival)

Lama hidup ginjal cangkok sangat dipengaruhi oleh kecocokan antigen antara donor dan resipien. Waktu paruh ginjal cangkok pada HLA identik 20-25 tahun, HLA yang sebagian cocok (one-haplotype match) 11 tahun dan pada donor jenazah 7 tahun. Lama hidup ginjal cangkok pada pasien diabetes militus lebih buruk daripada non diabetes.

b. Lama hidup pasien (Patient Survival)

Sumber organ donor sangat mempengaruhi lama hidup pasien dalam jangka panjang. Lama hidup pasien yang mendapat donor ginjal hidup lebih baik dibanding donor jenasah, mungkin karena pada donor jenasah memerlukan lebih banyak obat imonosupresi. Misalnya pada pasien yang ginjal cangkoknya berfungsi lebih dari satu tahun, didapatkan lama hidup pasien 5 tahun (five live survival) pada donor hidup 93 % dan pada donor jenasah 85 % penyakit eksternal seperti diabetes militus akan menurunkan lama hidup pasien.

6. Faktor-faktor yang berperan dalam keberhasilan transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan transplantasi yang paling banyak dilakukan dibanding transplantasi organ lain dan mencapai lam hidup paling panjang. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan transplantasi ginjal terdiri faktor yang bersangkut paut dengan donor, resipien, faktor imunologis, faktor pembedahan antara lain penanganan pra-operatif dan paska operasi.
a. Donor ginjal

Kekurangan ginjal donor merupakan masalah yang umum dihadapai di seluruh dunia. Kebanyakan negara maju telah menggunakan donor jenasah (cadaveric donor). Sedangkan negara-negara di Asia masih banyak mempergunakan donor hidup (living donor). Donor hidup dapat berasal dari individu yang mempunyai hubungan keluarga (living related donor) atau tidak ada hubungan keluarga (living non related donor). Kemungkinan mempergunakan donor hidup bukan keluarga berkembang menjadi suatu masalah yang peka, yaitu komersialisasi organ tubuh.

 

• Donor hidup

Donor hidup, khususnya donor hidup yang mempunyai hubungan keluarga harus memnuhi beberapa syarat :

a) Usia lebih dari 18 tahun s/d kurang dari 65 tahun.

b) Motivasi yang tinggi untuk menjadi donor tanpa paksaan.

c) Kedua ginjal normal.

d) Tidak mempunyai penyakit yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal dalam waktu jangka yang lama.

e)  Kecocokan golongan darah ABO, HLA dan tes silang darah (cross match).
f) Tidak mempunyai penyakit yang dapat menular kepada resepien.

g) Sehat mental.

h) Toleransi operasi baik.

Pemeriksaan calon donor meliputi anamnesis, pemeriksaan fisis lengkap; termasuk tes fungsi ginjal, pemeriksaan golongan darah dan sistem HLA, petanda infeksi virus (hepatitis B, hepatitis C, CMV, HIV), foto dada, ekokardiografi, dan arteriografi ginjal.

• Donor jenazah

Donor jenazah berasal dari pasien yang mengalami mati batang otak akibat kerusakan otak yang fatal, usia 10-60 tahun, tidak mempunyai penyakit yang dapat ditularkan seperti hepatitis, HIV, atau penyakit keganasan (kecuali tumor otak primer). Fungsi ginjal harus baik sampai pada saat akhir menjelang kematian. Panjang hidup ginjal transplantasi dari donor jenasah yang meninggal karena strok, iskemia, tidak sebaik meninggal karena perdarahan subaracnoid.

b. Resipien Ginjal

Pasien gagal ginjal terminal yang potensial menjalani transplantasi ginjal harus dinilai oleh tim transplantasi. Setelah itu dilakukan evaluasi dan persiapan untuk transplantasi. Frekuensi dialisis menjadi lebih sering menjelang opersi untuk mencapai keadaan seoptimal mungkin pada saat menjalani operasi.
Dilakukan pemeriksaan jasmani yang teliti untuk menetapkan adanya hipertensi, penyakit pembuluh darah perifer dan penyakit jantung koroner, ulkus peptikum dan keadaan saluran kemih. Disamping itu pemeriksaan laboratorium lengkap termasuk pertanda infeksi virus (hepatitis, CMV, HIV) foto dada, USG, EKG, ekokardiografi, pemeriksaan gigi geligi dan THT.

Resipien yang potensial untuk transplantasi ginjal

a) Dewasa

b) Pasien yang kesulitan menjalani hemodialisis dan CAPD.

c) Saluran kemih bawah harus normal bila ada kelainan dikoreksi terlebih dahulu.

d) Dapat mnejalani terapi imunosupresi dalam jangka waktu lama dan kepatuhan berobat tinggi.

Kontra indikasi

a) Infeksi akut : tuberkolosis, infeksi saluran kemih, hepatitis akut.

b) Infeksi kronik, bronkietaksis.

c) Aterotema yang berat.

d) Ulkus peptikum yang aktif.

e) Penyakit keganasan.

f) Mal nutrisi

c. Imunologi transplantasi

Ginjal donor harus mempunyai kecocokan secara imunologi dengan ginjal resepien agar transplantasi berhasil baik. Golongan darah (ABO) yang sama merupakan syarat yang utama. Kesesuaian imunologis pada transplantasi ginjal dinilai dengan memeriksa pola HLA.

Bila ginajal yang dicontohkan tidak cocok secara imunologis akan timbul reaksi rejeksi. Reaksi ini sebenarnya merupakan usaha tubuh resepien untuk menolak be3nda asing yang masuk ketubuhnya. Ada tiga jenis reaksi rejeksi yang dikenal pada transplantasi ginjal, yaitu :

1.      Reaksi hiperakut

Terjadi segera dengan beberapa menit atau beberapa jam setelah klem pembuluh darah dilepas. Disebabkan adanya antibodi terhadap sistem ABO atau sistem HLA yang tidak cocok. Rejeksi hiperaktif tidak bisa diatasi harus dilaksanakan nefrektomi ginjal cangkok. Rejeksi hiperakut saat ini jarang terjadi oleh karena dapat dihindarkan dengan pemeriksaan reaksi silang.

2.      Rejeksi akut

Biasanya terjadi dalam waktu 3 bulan pasca transplantasi, dapat dicetuskan oleh penghentian atau pengurangan dosis obat imunoisupresi. Manifestasi klinis : demam, mialgia malaise, nyeri pada ginjal baru, produksi urine menurun, berat badan meningkat, tekanan darah naik, kreatinin serum meningkat, histopatologi.
Terapi rejeksi akut :

a.       Metil prednisolon: 250 mg-1 gr IV/hari selama 3 hari. Respon umumnya setelah didapatkan 3 hari.

b.      ALG (anti limphocyte globulin), ATG (anti thympocyte globulin) atau antibodi monoklonsl (OKT-3) sebagai terapi alternatif bila tidak teratasi.

3.      Rejeksi kronik

Terjadi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun pasca transplantasi. Pada rejeksi kronik terjadi penurunan fungsi ginjal cangkok. Belum ada pengobatan yang spesifik untuk mengobati rejeksi kronik.

7. Persiapan pembedahan (Pra-Operatif dan perioperatif)

Persiapan pra-operatif untuk calon resipien bertujuan untuk :

Menilai kemampuan menjalani operasi besar.

• Menilai kemampuan menerima obat imunosupresi untuk jangka waktu yang lama.

Menilai status vaskular tempat anastomosis.

Menilai traktus urinarius bagian bawah.

• Menghilangkan semua sumber infeksi.

• Menilai dan mempersiapkan unsur psikis.

Persiapan pra-operatif untuk calon donor bertujuan untuk ;

• Menilai kerelaan (tak ada unsur paksaan atau jual beli)

• Menilai kemampuan untuk nefrektomi

• Menilai akibat jangka panjang ginjal tunggal

• Menilai kemungkinan anastomosis

• Menilai kecocokan golongan darah ABO, HLA dan crossmatch.

 

 

8. Obat-obat imunosupresi

Untuk mencegah terjadinya rejeksi, kepada pasien yang mengalami transplantasi ginjal diberikan obat-obat imunosupresi. Pilihan obat, kombinasi obat serta dosis obat tergantung kepada respons dan kecocokan antara antigen donor dengan resepien disamping faktor lain.

( Fitri Niagantini/09132 - 2D )

3. Tumor Jinak
a. Hamartoma Ginjal
Definisi
Hamartoma atau angiomiolipoma ginjal adalah tumor ginjal yang terdiri atas komponen lemak, pembuluh darah dan otot polos. Lesi ini bukan merupakan tumor sejati, tetapi paling cocok disebut sebagai hamartoma. Tumor jinak ini biasanya bulat atau lonjong dan menyebabkan terangkatnya simpai ginjal. Kadang tumor ini ditemukan juga pada lokasi ektrarenal karena pertumbuhan yang multisentrik (De Jong, 2000). Lima puluh persen dari hamartoma ginjal adalah pasien Tuberous sklerosis atau penyakit Bournville yaitu suatu kelainan bawaan yang ditandai dengan retardasi mental, epilepsi, adenoma seseum dan terdapat hamartoma di retina, hepar, tulang, pankreas dan ginjal. Tumor ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria dengan perbandingan 4 : 1 (Basuki, 2003).
Gambaran Klinis Jika tidak bersamaan dengan penyakit Tuberous sklerosis, hamartoma ginjal sering tanpa menunjukkan gejala dan kadang-kadang didapatkan secara kebetulan pada saat pemeriksaan rutin dengan ultrasonografi abdomen(Basuki, 2003).
Gejala klinis yang mungkin dikeluhkan adalah : nyeri pinggang, hematuria, gejala obstruksi saluran kemih bagian atas dan kadang kala terdapat gejala perdarahan rongga retroperitonial(Basuki, 2003).

Pencitraan
Karena banyak mengandung komponen lemak inilah yang membedakan hamartoma dengan adenokarsinoma ginjal ; sehingga pada ultasonografi akan terlihat gambaran hiperekoik dan jika dkonfirmasikan dengan CT scan tampak area yang menunjukkan densitas negatif. Gambaran ini patognomonis untuk suatu hamartoma(Basuki, 2003).
Diagnosis ditentukan dengan ditemukannya massa pada ginjal yang pada pielografi intravena terlihat sebagai massa yang mendesak pada sistem pielum dan kaliks. Pada pemeriksaan ultrasonografi dapat terlihat massa padat pada ginjal. Dengan arteriografi sulit membedakan tumor ini dengan tumor ganas karena keduanya memberi bayangan hipervaskularisasi (De Jong, 2000). 
Terapi
Tumor kecil dan tanpa menimbulkan keluhan tidak perlu diobati, hanya saja memerlukan evaluasi berkala yang teratur untuk mengetahui perkembangan besarnya massa tumor. Jika tumor menjadi semakin besar dan sangat mengganggu perlu dipertimbangkan untuk tindakan nefrektomi(Basuki, 2003).
b. Fibroma Renalis
Tumor jinak ginjal yang paling sering ditemukan ialah fibroma renalis atau tumor sel interstisial reno-medulari. Tumor ini biasanya ditemukan secara tidak sengaja sewaktu melakukan autopsi, tanpa adanya tanda ataupun gejala klinis yang signifikan. Fibroma renalis berupa benjolan massa yang kenyal keras, dengan diameter kurang dari 10 mm yang terletak dalam medula atau papilla. Tumor tersusun atas sel spindel dengan kecenderungan mengelilingi tubulus di dekatnya.
c. Adenoma Korteks Benigna
Adenoma koreteks benigna merupakan tumor berbentuk nodulus berwarna kuning kelabu dengan diameter biasanya kurang dari 20 mm, yang terletak dalam korteks ginjal. Tumor ini jarang ditemukan, pada autopsi didapat sekitar 20% dari seluruh autopsi yang dilakukan. Secara histologis tidak jelas perbedaannya dengan karsinoma tubulus renalis ; keduanya tersusun atas sel besar jernih dengan inti kecil. Perbedaannya ditentukan hanya berdasarkan ukurannya ; tumor yang berdiameter kurang dari 30 mm ditentukan sebagai tumor jinak. Perbedaan ini sepenuhnya tidak dapat dipegang sebab karsinoma stadium awal juga mempunyai diameter kurang dari 30 mm. Proses ganas dapat terjadi pada adenoma korteks.

d. Onkositoma
Onkositoma merupakan subtipe dari adenoma yang sitoplasma granulernya (tanda terhadap adanya mitokondria yang cukup besar dan mengalami distorsi) banyak ditemukan. Onkositoma kadang-kadang dapat begitu besar sehingga mudah dikacaukan dengan karsinoma sel renalis.



e. Tumor Jinak Lainnya
Tumor jinak dapat timbul dari jenis sel apapun dari dalam ginjal. Beberapa menyebabkan masalah klinis, seperti hemangioma yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan, sehingga memberikan rasa nyeri atau merupakan predisposisi kehilangan darah yang banyak sewaktu terjadi trauma.Tumor yang jarang ditemukan ialah tumor sel jukstaglomerulor yang memproduksi renin yang merupakan penyebab terjadinya hipertensi (Underwood, 2000). Jenis tumor lain yang pernah ditemui adalah lipoma dan leiomioma (De Jong, 2000).
( Fitri Niagantini/09132 - 2D )

2 komentar:

  1. terimakasih banyak infonya, sangat menarik sekali dan bermanfaat

    http://landongobatherbal.com/obat-herbal-infeksi-ginjal/

    BalasHapus
  2. Harrah's Lake Tahoe Casino Site | Lucky Club Live
    With over 3000 slots and 60 tables of entertainment, Harrah's Lake Tahoe has become an exciting entertainment destination. Here is your luckyclub.live chance to enjoy the best of Lake

    BalasHapus